Kasus Robertus Robet —aktivis yang ditangkap karena dituduh menghina TNI setelah menyanyikan lagu protes saat unjuk rasa—menimbulkan ketakutan akan bangkitnya era Soeharto. Para kritikus melihat penangkapan ini sebagai upaya membungkam kritik damai dan lambang mengkisnya kebebasan berbicara di Indonesia.

Oleh: Max Walden (ABC News)

Seorang akademisi Indonesia yang menghadapi beberapa tahun hukuman penjara karena dituduh “menghina” TNI, mengatakan bahwa ia berniat tinggal di Australia sampai lingkungan politik yang tegang pasca-pemilu mereda.

Robertus Robet—seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta dan anggota dewan Amnesty International Indonesia—melarikan diri ke Melbourne bersama keluarganya sehari setelah ia ditahan untuk sesaat oleh polisi pada awal Maret.

“Sebenarnya, saya ingin kembali sesegera mungkin,” kata Robet kepada ABC.

“Tapi saya sedang menunggu hasil akhir dari pemilu presiden ini.”

Ketegangan masih memuncak di Jakarta, di mana Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya, mantan jenderal militer Prabowo Subianto, telah mengklaim kemenangan.

Hitung cepat menunjukkan Jokowi menang, tetapi hasil resmi baru akan diumumkan pada 22 Mei.

Robet—yang rutin berkolaborasi dengan para peneliti University of Melbourne—mengatakan bahwa dia pergi ke Australia karena mengkhawatirkan keselamatan keluarganya setelah diancam secara online.

“Siapa pun yang memenangkan pemilu, demokrasi sudah mengalami kemunduran,” katanya.

‘MENDISKREDITKAN INSTITUSI TANPA FAKTA ITU BERBAHAYA’
Pada bulan Januari tahun ini, Hadi Tjahjanto, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), menyerukan undang-undang yang melarang anggota militer aktif untuk bekerja di dinas sipil untuk direvisi.

Para kritikus seperti Robet khawatir bahwa langkah itu dapat mengembalikan peran kontroversial militer dalam pemerintahan sipil yang dialami di bawah kediktatoran Soeharto, di mana angkatan bersenjata Indonesia memegang kursi parlemen dan peran layanan publik tingkat tinggi.

Polisi Republik Indonesia (Polri) menahan Robet pada bulan Maret setelah melihat video dia menyanyikan lagu protes pada demonstrasi HAM mingguan di Jakarta.

Lirik dalam lagu tersebut—yang populer selama protes pro-demokrasi terhadap rezim Soeharto—menyebut Angkatan Bersenjata Indonesia “tidak berguna”.

Lagu itu diedarkan di media sosial, dan Robet didakwa “menyebarkan kebencian dan permusuhan” secara online dan “menghina otoritas atau badan hukum”.

Hukuman maksimum untuk pelanggaran ini berdasarkan hukum pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kontroversial, masing-masing adalah 18 bulan dan enam tahun penjara.

Dedi Prasetyo, juru bicara Polri, mengatakan bahwa lirik lagu itu “tidak sesuai dengan fakta”.

“Mendiskreditkan institusi tanpa fakta dan bukti itu berbahaya,” katanya.

Ironisnya, ketika Robet menyanyikannya sebagai mahasiswa di bawah pemerintahan otoriter Soeharto pada akhir tahun 1990-an, baik dia maupun rekan-rekannya bahkan tidak didakwa.

Baca Artikel Selengkapnya di sini