Baru-baru ini Amerika Serikat mengumumkan, telah mengirim ratusan personil yang akan bertugas di Suriah Timur. Kebijakan tersebut diambil seiring dengan ancaman ISIS yang konon mulai membesar kembali.

Kepala Komando Pusat AS Jenderal Kenneth McKenzie menerangkan, Sabtu (23/11), sekitar 500 personil diperkirakan akan memulai kembali operasi terhadap Negara Islam dalam beberapa hari dan minggu mendatang di Suriah Timur.

ISIS telah kehilangan hampir seluruh wilayahnya di Suriah, sedang pasukan AS membunuh mantan pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi bulan lalu. Meski begitu, kelompok yang pernah menguasai sepertiga wilayah Suriah dan Irak tersebut masih dipandang sebagai ancaman.

Melalui Daily Mail, Presiden Donald Trump mengejutkan sekutu AS pada Desember lalu dengan mengatakan, Washington menarik semua pasukannya dari Suriah. Pihaknya memutuskan untuk mempertahankan kekuatan residu di bagian timur laut negara itu, dengan fokus mencegah Negara Islam melakukan serangan balik dan menyerang ladang minyak di sana.

Mantan Menteri Pertahanan Trump James Mattis berbicara blak-blakan tentang pengurangan pasukan. Kepada Washington Post ia berujar, “Jika kita tidak terus menekan, maka ISIS akan bangkit kembali.”

“Sekarang saya punya sekitar 500 personel AS yang umumnya ditempatkan di timur sungai Efrat, di sebelah timur Deir al Zor hingga Hasaka, di timur laut hingga ke timur laut Suriah,” kata McKenzie di sela-sela KTT Keamanan Dialog Manama di Bahrain.

Ia menambahkan, “Adalah niat kami untuk tetap dalam posisi itu, bekerja dengan mitra SDF (Pasukan Demokratik Suriah). Kami akan melanjutkan operasi melawan ISIS di lembah sungai Efrat di mana target itu menampilkan diri mereka sendiri.”

Turki sendiri menghentikan serangan terhadap YPG–organisasi militer Partai Persatuan Demokratik, komponen utama SDF yang didukung AS mengalahkan Negara Islam. Ia dipandang sebagai kelompok ******* yang memiliki hubungan dengan militan Kurdi di tanah Turki.

Sementara, Moskow, pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad mengatakan, pekan ini pihaknya tengah menempatkan lebih banyak polisi militer Rusia ke timur laut Suriah, mendirikan rumah sakit lapangan untuk warga sipil, mendistribusikan bantuan kemanusiaan, dan membangun kembali infrastruktur.

Langkah Trump menarik pasukan AS dari Suriah utara menuai kritik dari sejumlah pihak. Mulai dari pengamat, orang Amerika, termasuk para pemimpin yang biasanya tidak mengkritik presiden, khawatir bahwa penarikan AS akan memberi peluang bagi Negara Islam untuk bangkit kembali.

Trump mencoba menenangkan reaksi kontra sejumlah pihak dengan membiarkan sisa pasukan AS tetap di Suriah, seolah-olah melindungi minyak yang dikuasai orang Kurdi. Kemudian, AS memukul ISIS ketika pasukan Operasi Khusus membunuh pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi – menghilangkan pemimpin kunci pada saat kritis.

Negara Islam dapat membuat keuntungan sederhana saat AS pergi. Namun, serangan AS pada Baghdadi beberapa waktu lalu menandaskan, kampanye kontra-terorisme yang dipimpin AS tidak akan berakhir.

Amerika Serikat masih memiliki lebih dari 5.000 tentara di dekat wilayah Irak, yang bakal fokus pada upaya memerangi Negara Islam. Pun, mereka akan mengumpulkan intelijen serta melakukan penggerebekan di Suriah.

Tentu saja, kita belum tahu apa yang mungkin terjadi. Sejarah memberitahu kita untuk tidak menyepelekan Negara Islam. Namun, kita juga tidak boleh cepat berasumsi bahwa mereka bisa sekuat itu.

AS sendiri telah berada di Suriah sejak 2014, dengan dalih utama memerangi kelompok *******, lalu belakangan memperbarui misi militernya demi melindungi sumur minyak di wilayah timur negara Arab ini.

Senator AS Lindsey Graham dalam sebuah pesan di laman Twitter-nya menuturkan, pengeluaran militer AS di Suriah akan didanai dari penjualan minyak.

Sumber