Serangan udara Amerika Serikat di Irak yang menewaskan Komandan Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC) Mayor Jenderal Iran Qassem Soleimani dan wakil kepala milisi Irak Hashd al-Shaabi yang didukung Iran Abu Mahdi Al-Muhandis konon dilakukan sebagai tindakan pertahanan diri AS terhadap “teroris internasional”. Faktanya, pembunuhan atas keduanya justru menyulut gejolak kemarahan dan hasrat balas dendam dari milisi-milisi setempat yang terkontrol dan berpotensi menimbul tatanan baru yang merusak.




Pada 15 April 2019, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan, mereka menambahkan ke dalam daftar organisasi ******* yang diakui secara internasional. Melabeli militer negara lain sebagai organisasi ******* adalah langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, ada banyak kekhawatiran secara internal di AS maupun kalangan masyarakat internasional. Sebagai langkah yang belum pernah diambil sebelumnya oleh negara paling kuat di dunia, langkah pelabelan ini pada gilirannya akan menimbulkan dampak besar yang tidak terduga.

Dampak yang sangat besar ini kini menandai awal 2020 yang sangat tegang dengan pembunuhan Mayor Jenderal Iran Qassem Soleimani pada 3 Januari oleh serangan pesawat tak berawak AS di Baghdad, Irak yang diperintahkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump.

Pembunuhannya disebut-sebut sebagai tindakan pertahanan diri AS terhadap “teroris internasional” (Soleimani) untuk menyelamatkan nyawa warga dan aset Amerika di seluruh Timur Tengah. Sebagai penyedia keamanan untuk sebagian besar negara di kawasan, langkah ini dipercaya oleh pemerintah AS membuat kawasan itu menjadi “lebih aman”. Namun, situasi keamanan semacam itu tampaknya belum pasti terjadi.

KEMATIAN, PERBEDAAN PENDAPAT, DAN KESEDIHAN

Dalam rentang tujuh hari, kawasan itu menyaksikan serangan pesawat tak berawak, kericuhan di prosesi pemakaman Soleimani, serangan rudal di pangkalan udara, dan kecelakaan pesawat penumpang Ukraina, semuanya menyebabkan sejumlah besar korban. Kawasan itu tersebut tidak pernah terlihat rentan atau berada di ambang perang potensial seperti ini. Ancaman segera atas meningkatnya eskalasi Iran-AS mungkin mereda untuk saat ini, tetapi kematian Soleimani dan Abu Mahdi Al-Muhandis, wakil kepala milisi Irak Hashd al-Shaabi yang didukung Iran, telah menyebabkan gelombang kemarahan dan kesedihan di seluruh wilayah.

Hashd-al-Shaabi, yang dikenal juga sebagai Unit Mobilisasi Populer (PMU), merupakan milisi yang signifikan secara politik yang diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata Irak melalui dekrit presiden pada 2019. Muhandis ialah mantan anggota parlemen sekaligus tokoh populer di Irak dan Iran. Meskipun tidak berpengaruh besar seperti Soleimani sendiri, Muhandis dikenal sebagai pemimpin pro-Iran yang ideal untuk ditempatkan di Irak.

Kedua sosok tersebut memegang kendali besar atas aktor non-negara di Irak, Lebanon, Suriah, dan di seluruh kawasan. Langkah Amerika Serikat untuk menyerang konvoi mereka tidak hanya membuat geram para milisi di seluruh Timur Tengah, tetapi juga telah mengubah perbedaan pendapat internal Irak dalam menentang pengaruh Iran menjadi dukungan Irak terhadap Iran.

ISIS BERSUKACITA DAN BERKUMPUL KEMBALI
Menurut Fatima Raza dari Asia Times, yang lebih penting lagi, kematian Soleimani dan Muhandis telah menyebabkan guncangan ketidakstabilan di seluruh Irak karena sekarang aset-aset AS lebih rentan terhadap serangan balas dendam yang bisa dipelopori oleh milisi seperti PMU maupun banyak milisi lainnya. Eskalasi oleh Amerika ini berpotensi menimbulkan tatanan regional baru yang penuh dengan aktor-aktor non-negara yang mengklaim kendali atas wilayah-wilayah yang bergolak dan menghambat kelancaran jalannya negara Irak yang dilanda perang. Gejolak itu kemungkinan besar akan meluas ke wilayah lain, menyebabkan gangguan sektarian, politik, dan etnis di seluruh kawasan.

Moral yang anjlok atas pembunuhan-pembunuhan tersebut juga bisa memberikan ruang bagi ISIS untuk berkumpul kembali sekarang karena musuh terbesarnya telah terbunuh. ISIS secara terduga menyambut pembunuhan Soleimani sebagai “intervensi ilahi” karena Komandan Pasukan Quds itu telah berpotensi terlibat dalam mengekang ancaman ISIS di kawasan.

Meskipun eskalasi Iran-AS tampaknya tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, hubungan timbal balik mereka akan terus mengalami ketegangan. Kedua belah pihak telah diperingatkan oleh komunitas internasional untuk menghindari eskalasi lebih lanjut yang tidak perlu. Namun, siapa yang dapat memastikan, milisi-milisi regional yang berperilaku sebagai aktor non-negara tidak akan bertindak sebagai balas dendam atas pembunuhan para pemimpin mereka?

PEMBUNUHAN, KEMARAHAN, DAN BALAS DENDAM

Aktor-aktor non-negara di negara-negara yang dilanda perang seperti Hash-al-Shaabi di Irak memegang posisi signifikan namun ambigu dengan merujuk pada rancangan dan aktivitas regional mereka. Dimanfaatkan oleh negara-negara yang menganggap mereka dapat mengendalikan tindakan sendiri, para milisi maupun aktor non-negara itu memiliki pikiran mereka sendiri. Tindakan mereka tidak dapat dipetakan dengan memuaskan.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif setelah pembunuhan Soleimani dalam wawancara di satu sisi, bahkan membantah kontrol Iran atas semua proksi atau milisi di Irak. Di sisi lain, Zarif menyatakan, orang-orang di jalanan Irak dapat berpikir secara mandiri dan apa yang akan mereka lakukan tidak dapat dikendalikan oleh Iran.

Bukti lebih lanjut dari kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh milisi-milisi semacam itu atas politik di Irak adalah pemungutan suara di Parlemen Irak untuk mengusir pasukan AS dari negara itu setelah serangan udara di Bandara Baghdad. Seorang anggota Kurdi di parlemen Sarkawt Shams mengaku diancam dengan pembalasan keras oleh biro politik milisi Kataeb Hezbollah jika ia atau orang-orangnya memblokir pemungutan suara di parlemen.

Fatima Raza dari Asia Times berpendapat, hal ini mengungkapkan kedalaman pengaruh yang dimiliki aktor non-negara seperti itu terhadap urusan negara. Oleh karena itu, cukup sulit untuk memprediksi apakah serangan rudal Iran akan menjadi balas dendam yang cukup bagi milisi-milisi yang tidak puas tersebut yang kehilangan pemimpin mereka karena keterlibatan AS di kawasan.

Oleh karena itu, tatanan kawasan dan Irak pada khususnya menjadi semakin tidak pasti. Pada 12 Januari 2020, sebuah tembakan roket menghantam pangkalan udara Irak di Baghdad yang biasanya menampung pasukan AS dan melukai setidaknya empat tentara Irak. Tidak ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab, sehingga semakin dipercaya bahwa serangan anonim semacam itu dapat terus mengguncang situasi yang sudah goyah di kawasan.

Iran dan Amerika Serikat mungkin akhirnya menyadari bahaya dari perang ketika keduanya tampaknya telah mengurangi eskalasi konflik mereka. Sayangnya, perselisihan mereka telah membuat kawasan itu berada di ambang kehancuran oleh tindakan agresif para milisi yang bertindak berdasarkan dorongan impulsif alih-alih kehati-hatian.

Fatima Raza dari Asia Times menyimpulkan, tatanan regional baru dari aktor-aktor non-negara tersebut mungkin akan bertahan untuk sementara waktu dan memiliki potensi untuk mendorong kawasan ke dalam kekacauan lebih lanjut.

Sumber: https://www.matamatapolitik.com/pembunuhan-soleimani-picu-tatanan-regional-baru-yang-menakutkan-opini/